Habanusa, Jakarta – Asap gas air mata menggantung di udara, bau menyengat bercampur dengan teriakan massa di Kwitang. Di tengah kekacauan itu, prajurit TNI bergerak cepat mengevakuasi keluarga Brimob yang terjebak di asrama.
Salah satu kejadian itu diungkapkan Gatot Nurmantyo. Dalam edisi siniar bertajuk “KERAS! GATOT NURMANTYO: ADA UPAYA PEMBUSUKAN TNI DALAM DEMO RUSUH!!” di kanal YouTube Refly Harun pada Rabu, 10 September 2025 yang kLI ini dipandu Hersubeno Arief, Gatot Nurmantyo menyampaikan pandangan strategisnya.
“Ini bukan kebetulan, tapi pembentukan opini untuk mendiskreditkan tentara,” tegas Gatot.
Ia menjelaskan, keberadaan anggota intelijen di lapangan bukan berarti ikut terlibat kerusuhan. Justru sebaliknya, mereka sedang menyamar untuk mencari provokator. “Kalau dia membawa kartu tanda anggota dan senjata pendek, itu tandanya sedang bertugas,” ujarnya.
Namun, Gatot menilai penanganan yang salah membuat situasi semakin runyam. Identitas anggota Bais yang ditangkap malah diviralkan.
“Kalau prosedurnya seperti ini, 60% agen kita akan tertangkap. Bagaimana kita bisa tahu organisasi terlarang tanpa masuk ke dalamnya?” katanya, menyayangkan bocornya operasi intelijen.
Bukti bukan provokator
Gatot kemudian menyinggung peristiwa evakuasi keluarga Brimob di Kwitang. Saat markas Brimob dikepung massa usai tewasnya Affan Kurniawan, TNI justru mengambil inisiatif menyelamatkan.
“Ada tujuh truk yang mengangkut keluarga Brimob, termasuk anak-anak kecil, ke hotel untuk diamankan. Kalau TNI provokator, ngapain kita lakukan ini?” ungkapnya.
Menurut Gatot, tindakan ini adalah bukti nyata bahwa TNI bukan sumber kerusuhan, melainkan bagian dari solusi. Sayangnya, peristiwa positif semacam itu jarang mendapat perhatian media sosial, kalah oleh framing yang menyudutkan.
Ancaman Pisahkan TNI dan Rakyat
Lebih jauh, Gatot melihat bahaya tersembunyi di balik isu ini: agenda untuk memisahkan TNI dari rakyat.
“Kekuatan Indonesia ada pada kebersamaan TNI dan rakyat. Kalau dipisahkan, negara akan rapuh,” ujarnya.
Ia mencontohkan nasib Libya dan Irak, dua negara yang porak-poranda setelah opini publik digiring melawan militernya.