Habanusa, Aceh Selatan — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan, Yeni Rosnizar, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyampaikan keprihatinan mendalam atas pernyataan Dr. Nazrul Zaman yang dinilai terlalu sinis dan cenderung mereduksi marwah DPRK dengan melabeli lembaga legislatif sebagai “kacung” Bupati Aceh Selatan.
Menurut Yeni Rosnizar, secara konstitusional dan normatif, DPRK merupakan lembaga yang memiliki hak, fungsi, dan kewenangan yang melekat secara jelas, baik dalam fungsi legislasi, penganggaran, maupun pengawasan. Oleh karena itu, penilaian yang bersifat simplistik dan generalisasi terhadap DPRK tidak hanya keliru secara akademik, tetapi juga berpotensi menyesatkan opini publik.
“Perbedaan pandangan, bahkan kritik, merupakan hal yang sah dalam negara demokrasi. Namun, kritik seharusnya dibangun di atas argumentasi objektif, data, dan etika keilmuan, bukan digiring oleh relasi personal atau persoalan subjektif dengan pihak tertentu, termasuk dengan Bupati Aceh Selatan,” ujar Yeni Rosnizar. Senin (22/12/2025)
Ia menegaskan bahwa pengiringan opini yang bersifat provokatif justru berpotensi menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang tidak produktif. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka yang paling dirugikan bukan individu atau institusi tertentu, melainkan Kabupaten Aceh Selatan secara keseluruhan, baik dari sisi stabilitas pemerintahan maupun kepercayaan publik.
Sebagai politisi PPP, Yeni Rosnizar juga mengingatkan bahwa setiap figur yang memiliki kapasitas publik, terlebih yang berlatar belakang akademisi, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi penyejuk ruang publik, bukan sebaliknya memperkeruh keadaan.
“Seorang akademisi idealnya berperan memadamkan api yang telah menyala, bukan justru menambahkan ‘minyak’ yang memperbesar kobaran konflik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yeni Rosnizar menegaskan bahwa DPRK sepenuhnya menyadari posisinya sebagai lembaga yang menerima mandat langsung dari rakyat. Mandat tersebut dijalankan melalui kerja-kerja kelembagaan yang bertumpu pada kepentingan daerah, bukan pada kepentingan personal ataupun pertunjukan politik sesaat.
“Kegaduhan tidak boleh dijadikan panggung untuk menari dan mencari sorotan. Aceh Selatan bukan objek eksperimen opini, melainkan rumah bersama yang harus dijaga dengan nalar, etika, dan tanggung jawab kolektif,” pungkasnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk para intelektual dan tokoh publik, untuk mengedepankan dialog yang konstruktif, rasional, dan berorientasi pada kemajuan Aceh Selatan, demi terciptanya suasana pemerintahan yang stabil dan kondusif.







