Aceh Selatan, Habanusa – Upaya memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak, serta menjaga nilai-nilai Syariat Islam di Aceh, revisi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat kembali menjadi pembahasan hangat.
Sebagai Koordinator Wilayah Barat Yayasan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumoh Putroe Aceh Gusmawi Mustafa menegaskan bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan perilaku menyimpang harus diperkuat agar memberikan efek jera yang maksimal.
Gusmawi Mustafa menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi di Aceh dan membutuhkan langkah tegas dalam penegakan hukum. Ia juga menyoroti ancaman perilaku homoseksual yang bertentangan dengan Syariat Islam dan budaya masyarakat Aceh.
“Kami di P2TP2A sering menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dampaknya sangat besar bagi korban dan keluarganya. Oleh karena itu, revisi Qanun Jinayat harus benar-benar memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku agar kasus serupa tidak terus berulang,” ujarnya.
Dalam hal ini Gusmawi Mustafa mengusulkan beberapa alternatif hukuman yang lebih efektif dalam revisi Qanun Jinayat untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak dan perilaku menyimpang, di antaranya:
1. Hukuman Cambuk dan Penjara Seumur Hidup. Selain hukuman cambuk yang telah diterapkan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak harus dikenakan hukuman penjara seumur hidup, terutama bagi mereka yang melakukan kejahatan berulang.
2. Kebiri dengan Syarat Khusus. Jika kebiri tetap dimasukkan dalam revisi, maka harus ada mekanisme yang jelas, termasuk persetujuan medis, psikolog, dan ulama, agar sesuai dengan maqashid syariah dan hukum Islam.
3. Penyitaan Harta dan Denda Berat. Pelaku harus membayar denda besar, yang digunakan untuk rehabilitasi korban dan bantuan bagi keluarganya, sehingga hukuman tidak hanya bersifat fisik tetapi juga memberi keadilan bagi korban.
4. Pengasingan atau Kerja Sosial Paksa. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang telah menjalani hukuman dapat diasingkan ke daerah terpencil atau diwajibkan melakukan kerja sosial berat, agar mereka tidak kembali ke lingkungan yang sama.
5. Rehabilitasi Wajib dan Pemantauan Ketat. Setelah menjalani hukuman, pelaku harus mengikuti rehabilitasi psikologis dan bimbingan agama untuk memastikan mereka tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, mereka harus dipantau secara ketat oleh aparat penegak hukum.
Selain memperberat hukuman, Gusmawi Mustafa juga menekankan pentingnya pendekatan preventif, seperti edukasi sejak dini, peran keluarga, serta penguatan moral dan agama di lingkungan masyarakat.
“Hukuman berat memang perlu, tapi kita juga harus memperkuat pencegahan. Pendidikan agama, pengawasan orang tua, dan kesadaran masyarakat sangat penting agar anak-anak kita tidak menjadi korban atau bahkan pelaku di masa depan,” tambahnya.
Dengan adanya revisi Qanun Jinayat yang lebih ketat dan tegas, Gusmawi Mustafa berharap Aceh dapat menjadi contoh dalam penegakan hukum Islam yang berkeadilan dan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan seksual serta perilaku menyimpang.
“Kami berharap revisi ini benar-benar memperkuat perlindungan bagi perempuan dan anak serta menekan angka kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Jangan sampai hukum kita dianggap lemah sehingga pelaku tidak merasa jera,” tutupnya.